I.
Latar Belakang
Perkembangan pola
pikir anak dalam budaya Indonesia telah berkembang pesat khususnya
anak usia dini. Namum perkembangan yang pesat ini justru berdampak
negatif dalam perkembangan sosioemosional. Banyaknya tuntutan dalam
pendidikan formal membuat anak usia dini menjadi kurang memperdulikan
lingkungan sosialnya. Kebanyakan dari orang tua menuntu prestasi
akademik tanpa melihat perilaku dan bagaimana interaksinya dengan
lingkungan sosialnya.
II.
Permasalahan
Kehidupan manusia
tidak akan pernah terlepas dari interaksi sosial, membutuhkan orang
lain dan selalu berusaha menjalin hubungan dengan sesamanya melalui
komunikasi. Proses komunikasi terjadi saat manusia menyampaikan
informasi, ide, konsepsi, pengetahuan, perasaan, sikap, perubahan
kepada sesamanya secara timbal balik, sebagai penyampai maupun
penerima komunikasi.
Komunikasi dapat
dilakukan secara verbal, maupun non verbal. Komunikasi secara verbal
dilakukan melalui berbicara dan menulis. Sedangkan komunikasi non
verbal dilakukan dengan tindakan atau atribusi yang dilakukan
seseorang untuk bertukar makana dan mencapai tujuan tertentu. Manusia
tidak bisa dilepaskan dari berbicara, berekspresi, serta bergerak
saat melakukan proses komunikasi.
Dalam komunikasi non
verbal, terdapat pula perilaku altruisme yaitu perilaku menolong
orang lain tanpa memikirkan diri sendiri. Perilaku ini mencakup
perilaku sosial seorang individu dalam kehidupan sehari – hari yang
tidak bisa dilepaskan dari adanya orang lain.
Anak
– anak merupakan cikal bakal
generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu mengekspresikan perilaku sosialnya dalam interaksi sosialnya dengan baik, yang salah satunya adalah perilaku altruisme. Hal ini dapat mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam aspek kehidupan sosial, khususnya dalam pembentukan moral.
generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu mengekspresikan perilaku sosialnya dalam interaksi sosialnya dengan baik, yang salah satunya adalah perilaku altruisme. Hal ini dapat mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam aspek kehidupan sosial, khususnya dalam pembentukan moral.
III.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh story telling
terhadap perilaku altruisme pada anak – anak. Dengan manfaat antara
lain:
- Dengan adanya penelitian, diharapkan anak – anak menjadi terbiasa menerapkan perilaku altruisme dalam
kehidupan sehari – hari. - Diharapkan anak – anak dapat membedakan perilaku prososial dengan perilaku anti sosial.
- Anak – anak dapat menampilkan perilaku altruisme yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan.
LANDASAN
TEORI
Altruisme
didefinisikan sebagai hasrat untuk menolong orang lain tanpa
memikirkan kepentingan sendiri (Myers,1996). Alasan
manusia menolong karena dibiasakan oleh masyarakat untuk menolong dan
untuk perbuatan itu masyarakat menyediakan ganjaran yang positif.
I.
Teori-Teori Menolong
A. Teori
Behaviorisme
Perilaku menolong
atau altruisme dapat terbentuk melalui kondisioning klasik dari
Pavlov. Manusia menolong karena
dibiasakan oleh masyarakat untuk
menolong dan untuk perbuatan itu masyarakat mempunyai ganjaran yang
positif (Macy,1995)
B. Teori Pertukaran
Sosial
Teori yang baru,
tidak hanya membahas proses pembiasaan yang sederhana. Teori ini
dasarnya adalah prinsip sosial ekonomi. Segala tindakan yang
dilakukan orang mempertimbangkan untung ruginya. Tidak hanya berupa
finansial atau materi tapi juga dalam bentuk psikologis seperti
memperoleh informasi, perhatian, pelayanan, status, penghargaan,
kasih sayang dan sebagainya (Foa&Foa,1973).
Menurut teori
pertukaran (Blau, 1964; Homans, 1961; Thibaut & Kelley, 1959)
perilaku individu dipandu oleh prinsip memaksimalkan manfaat dan
meminimalkan biaya untuk mendapatkan hasil yang paling menguntungkan
dalam setiap interaksi manusia. Individu memilih satu kegiatan atau
situasi bukan lain jika satu lebih menguntungkan atau lebih murah
bagi mereka daripada yang lain. Sejalan dengan prinsip-prinsip ini,
interaksi sosial akan diulang hanya jika peserta dalam interaksi yang
diperkuat sebagai fungsi memiliki berpartisipasi dalam hubungan.
Karena tujuan masing-masing individu dalam interaksi sosial adalah
memaksimalkan keuntungan, ia berpikir terutama dari apa yang ia
dapatkan dari orang lain: dimana orang lain adalah instrumental untuk
kepuasan keinginannya. Keuntungan termasuk manfaat materi seperti
uang atau barang dan manfaat sosial seperti persetujuan, pengakuan,
atau kekuasaan. Deskripsi ini menggambarkan model dari "manusia
ekonomi," yaitu, orang yang menghitung setiap tindakan dan
mencari manfaat dalam interaksi masing-masing.
Menurut pendekatan
pertukaran, altruisme adalah perilaku yang berperan dalam menerima
imbalan di masa depan. Pertukaran sosial melibatkan prinsip bahwa
orang yang tidak mendukung untuk lain mengharapkan kembali masa depan
(Blau, 1964; Gouldner, 1960). Kita tahu bahwa orang-orang yang kami
bantu berkewajiban untuk "membayar kami kembali."
Sebuah "altruisme"
jelas melingkupi kehidupan sosial, orang-orang yang ingin
menguntungkan satu sama lain dan membalas untuk manfaat yang mereka
terima. Tapi di balik ini tampak tidak mementingkan diri sendiri yang
mendasarinya "egoisme" dapat ditemukan, kecenderungan untuk
menolong orang lain sering dimotivasi oleh harapan bahwa hal tersebut
akan membawa manfaat sosial. Selain ini keprihatinan diri tertarik
dengan keuntungan dari asosiasi sosial, bagaimanapun, ada lagi sebuah
"altruistik" elemen atau, setidaknya, satu yang
menghilangkan transaksi sosial dari egoisme sederhana atau hedonisme
psikologis. Seseorang mencari hadiah dasar dalam asosiasi mereka
adalah persetujuan sosial, dan egois mengabaikan orang lain tidak
memungkinkan untuk mendapatkan hadiah ini penting.
Homans (1961)
melangkah lebih jauh, menunjukkan bahwa kepuasan nilai-nilai
seseorang bisa menjadi imbalan penting. Ia berpendapat bahwa "selama
nilai-nilai seseorang yang altruistik, mereka dapat mengambil
keuntungan dalam altruisme juga. Beberapa untung terbesar kita tahu
altruists". Dengan demikian, Homans sepakat bahwa berbuat baik
kepada orang lain mungkin hadiah dengan sendirinya. Demikian pula,
Blau (1964) menyatakan bahwa pada kesempatan langka seseorang akan
membantu orang lain yang membutuhkan bahkan tanpa mengharapkan apapun
bentuk ucapan terima kasih dari penerima. "Seorang individu juga
dapat memberikan uang karena tuntutan hati nuraninya bahwa ia
membantu mendukung kurang mampu dan tanpa mengharapkan apapun bentuk
rasa syukur dari mereka" (hal. 91). Blau menganggap seperti
tindakan pertukaran bantuan untuk persetujuan internal superego.
Menurut Blau tindakan ini relatif jarang. Ada orang yang membantu
orang lain tanpa pamrih "tanpa memikirkan imbalan dan bahkan
tanpa mengharapkan terima kasih, tapi ini hampir orang-orang kudus,
dan orang-orang kudus yang langka".
C. Teori Empati
Batson (1991, 1995)
menyatakan bahwa egoisme dan simpati berfungsi bersama-sama dalam
perilaku menolong. Dari segi egoisme, perilaku menolong dapat
mengurangi ketegangan diri sendiri, sedangkan dari simpati, perilaku
menolong itu dapat mengurangi penderitaan oranng lain. Gabungan dari
keduanya menjadi empati yaitu ikut merasakan penderitaan orang lain
sebagai penderitaan diri sendiri.
D. Teori Norma
Sosial
Menjelaskan bahwa
perilaku altruistik didasarkan pada norma-norma sosial yang berlaku.
Alasan perilaku individu harus sesuai dengan aturan norma yang
berlaku antara lain :
1. Kesesuaian
dengan norma yang berlaku, adanya sanksi dalam rangka menegakkan
sesuai dengan standar normatif perilaku.
2. Norma
dapat membantu menentukan realitas dan mengurangi ketidakpastian
Kritik
terhadap pendekatan normatif
Penjelasan
normatif perilaku altruistik telah dikritik atas beberapa
alasan. Darley dan Latane (1970) berpendapat:
1. Penggunaan
berbagai norma atau untuk menjelaskan perilaku altruistik melemahkan
kegunaan jelas mereka karena perilaku pun dapat digambarkan sebagai
normatif.
2.
Norma sering bertentangan satu sama lain dan karena itu penjelasan
normatif sering digunakan sebagai factum interpretasi posting.
3. Norma
dinyatakan terlalu samar untuk membimbing tindakan konkret.
4. Ada
sedikit bukti bahwa orang berpikir tentang norma ketika mereka
berperilaku altruistically.
5. Temuan
eksperimental tentang perilaku bertentangan dengan beberapa resep
normatif.
Krebs
(1970) menambahkan bahwa penjelasan normatif jatuh ke dalam lingkaran
penalaran-tautologi-yaitu, selalu mungkin untuk mengatakan bahwa
norma dipandu perilaku jika seseorang berperilaku sesuai dengan
norma, dan bahwa norma itu tidak diaktifkan dalam situasi tertentu
jika seseorang tidak berperilaku sesuai dengan norma.
Menolong orang
menurut teori ini berdasarkan keharusan dari norma-norma masyarakat.
Ada tiga macam norma sosial yang dijadikan pedoman untuk berperilaku
menolong.
1. Norma timbal balik
Inti
dari teori ini yaitu membalas pertolongan dengan pertolongan
- Norma tanggung jawab sosial
Kita
wajib menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun dimasa
depan.
- Norma keseimbangan
Cenderung
berlaku di dunia timur. Yang intinya adalah seluruh alam semesta
harus berada dalam keadaan yang seimbang, serasi, dan selaras.
Manusia berkewajiban membantu mempertahankan keseimbangan tersebut,
misalnya dengan perilaku menolong.
E. Teori Evolusi
Teori menekankan
altruisme untuk bertahan, atau mempertahankan jenis dalam proses
evolusi.
- Perlindungan kerabat
Yang dimaksudkan di
sini yaitu tentang adanya naluri melindungi kerabat kita yang
terdekat. Atau dalam peperangan yang diutamakan selamat adalah
anak-anak dibanding orang tua. Namun naluri melindungi yang
berlebihan dapat melewati batas moral dan keadilan.
- Timbal balik biologik
Menolong untuk
memperoleh pertolongan kembali. Teori ini dikemukakan oleh Robert
Trivers (dalam Binham,1980)
- Orientasi seksual
Kaum minoritas pada
homoseksual lebih mempunyai kecenderungan altruisme lebih besar
daripada masyarakat yang heteroseksual. Ini bertujuan untuk
mempertahankan jenisnya daripada yang heteroseksual.
F. Teori
Perkembangan Kognisi
Tingkat perkembangan
kognitif akan berpengaruh pada perilaku menolong (Piaget). Misalnya
pada anak-anak, perilakku menolong mereka masih berdasarkan
pertimbangan hasil. Semakin dewasa anak tersebut, semakin tinggi
kemampuanya untuk berpikir secara abstrak, dan makin mampu
mempertimbangkan usaha atau biaya untuk perilaku menolong itu
(Lourenco,1994).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang budiman.
Silakan tinggalkan komentar.
We'll be glad to respond your comment(s). ^_^